Tanpa terdengar kabar sakitnya, Jumat (27/9), tiba-tiba saja tersiar kabar ahli forensik nomor satu di Indonesia, dokter Mun’im Idris, meninggal dunia. Kabar duka itu tentu saja mengejutkan sekaligus mengundang tanda tanya sebagian orang adakah kepergian pakar forensik UI yang suka blak-blakan itu ada kaitannya dengan pengungkapannya atas sejumlah kasus kematian yang melibatkan orang-orang-orang terkemuka di negeri ini.
Berita resminya, ahli forensik yang bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo berusia 66 tahun itu meninggal dunia karena menderita sakit pankreas. Almarhum memang dirawat di RSCM sejak 7 September 2013. Setelah diperiksa melalui ultrasonografi, dokter menemukan batu empedu di tubuh Mun’im. Seusai pemeriksaan lanjutan pada Kamis (12/9), dokter kemudian menyatakan, adanya kanker pankreas di tubuhnya.
Karena itulah, Mun’im menjalani operasi kanker pankreas pada Selasa (24/9), selama 6,5 jam. “Tadinya, kalau batu empedu mau di tembak. Ternyata bukan batu, itu adalah kanker pankreas,’’ kata Elita Mirnawaty, anak ketiga almarhum.
Enam Jam
Sebelumnya, ia menjalani operasi selama enam jam pada Selasa (17/9) di RSCM. Kondisinya sebentar membaik, tapi belakangan kembali drop, sampai akhirnya meninggal Jumat dini hari pukul 02.32. Meski sakit telah mengantarkan Mun’im ke peristirahatannya yang terakhir, tak bisa dielakkan jika orang sempat berpikir jangan-jangan ada yang tidak wajar dari kematiannya. Sebagaimana kematian tidak wajar orang-orang yang pernah ia ungkap, seperti kasus Dietje Budimulyono, Petrus, Robot Gedhek, Trisakti-Semanggi, Marsinah, kasus Tommy Soeharto hingga kasus Fathurahman Al Ghozi di Solo.
Seperti diketahui, Mun’im sedianya akan bersaksi untuk Antasari Azhar, dalam sidang uji materi Pasal 268 Ayat (3) UU KUHAP di Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur ketentuan peninjauan kembali (PK) hanya satu kali. “Sebenarnya almarhum kami siapkan untuk menjadi saksi ahli di MK. Beliau sengaja kami simpan untuk tidak jadi saksi ahli terlebih dulu, namun takdir berkehendak lain telah mendahului kita semua,” kata koordinator kuasa hukum Antasari, Boyamin Saiman, kemarin.
Mun’im Idris pernah bersaksi dalam sidang pemeriksaan PK Antasari Azhar di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel pada 22 September 2011. Dalam kesaksiannya, Mun’im mengaku pernah diminta penyidik Polri untuk menghapus kalimat luka diameter 9 milimeter dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
Namun, permintaan tersebut tidak dilakukan Mun’im. Ketika ditanya Antasari siapa penyidik yang meminta Mun’im menghapus hasil forensik, almarhum hanya menyebut nama Nico. Selain itu, Mun’im memberikan penjelasan mengenai tidak adanya luka pada bagian sebelah kanan kepala Nasrudin. Yang ada hanya dua luka tembak bagian kiri. Mun’im juga mengaku tidak pernah diberi kesempatan penyidik polisi untuk memeriksa mobil korban dan memeriksa tempat kejadian perkara (TKP). “Oleh karena saya bukan saksi mata dan saya tidak menemukan butir-butir mesiu, sehingga kalimatnya (dalam kesimpulan forensik untuk BAP), saya menulis (penembakan) bisa jauh, dekat, menempel. Ini bisa luka tembak tempel, tapi pakai penghalang,’’ kata Mun’im waktu itu.
Kontroversi
Kontroversi lain yang dibuat almarhum adalah menerbitkan buku ‘’Indonesia X-Files’’ yang mengungkap sejumlah kasus yang pernah dibongkarnya melalui keahlian forensik. Buku itu mengungkap fakta seputar kematian Bung Karno sampai Munir. Soal kematian Bung Karno, misalnya, Mun’im menduga kuat masa pengasingan menjadi penyebab turunnya terus kesehatan Sang Proklamator. Kondisi kesehatan yang jelek dan tidak mendapat perawatan yang seharusnya, tidak adanya atensi, serta pudarnya eksistensi merupakan penjelasan yang rasional. Dengan kata lain, perlakuan orde baru terhadap Bung Karno sedikit banyak mempunyai andil atas kematiannya.
Meski demikian, bagi peminat hal-hal yang berhubungan dengan dunia kriminal, buku ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis peluru termasuk arah putaran-nya, perbedaan peluru keluar dan masuk, memperkirakan jarak senjata dengan korban, kaliber, dibunuh lalu diledakkan atau malah terbunuh karena ledakan, dan lain-lain.
Baginya peristiwa penembakan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 14 Maret 2009, lebih menjadi pembuktian bahwa ilmu kedokteran forensik bisa menaklukkan rekayasa yang dilakukan manusia. Mun’im pun membuat kesimpulan yang mengejutkan dalam berkas visum et repertum yang ditekennya pada 30 Maret 2009. “...peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri, diameter kedua anak peluru tersebut 9 milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S&W.”
Dalam kasus pembunuhan Nasrudin, Mun’im dengan gamblang melontarkan dugaan adanya rekayasa. Dia menyatakan menerima jasad Nasrudin tidak dalam keadaan aslinya. Jenazah itu tidak berbaju dan lubang peluru di kepalanya sudah dijahit. Padahal, bagi dokter forensik, kondisi jenazah tersebut harus persis sama dan lengkap seperti saat dia meninggal.
Diracun
Pada kasus Munir, sebagai pakar forensik ia tidak percaya begitu saja dengan satu kesimpulan yang menyatakan dibunuh di atas pesawat. Bersama dua koleganya, salah satunya adalah pakar toksikologi (ilmu tentang racun) dari Universitas Udayana, MunÃim menemukan dugaan baru bahwa Munir dibunuh di kafe Coffee Bean, di Bandara Changi Singapura.
Dalam kasus Munir yang tewas dibunuh 7 September 2004, Mun’im mengungkapkan bagaimana peran ilmu forensik. “Semula semua orang terpaku, yakin pembunuhan dilakukan di atas pesawat Garuda. Akibatnya, tersangka pelaku pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, divonis bebas oleh Mahkamah Agung pada Oktober 2006,” urainya.
Dalam kerangka kasus aktivis HAM itu, diyakini Munir diracun di atas pesawat Garuda dari Jakarta ke Den Haag, Belanda. Polisi dan jaksa yakin racun arsenik dimasukkan ke dalam mi goreng yang disajikan untuk Munir. Belakangan, hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta malah meyakini racun dimasukkan dalam jus jeruk. Masalahnya, tak ada fakta yang bisa mengaitkan tersangka utama kasus ini, Pollycarpus, dengan insiden di atas pesawat.
Mun’im dan tim pencari fakta akhirnya menelusuri perjalanan Munir ke Singapura untuk mengetahui di mana racun pembunuh Munir tersebut diberikan. Setelah dilakukan tes, diketahui bahwa racun arsenik baru bereaksi sekitar 30 menit setelah diberikan. Sementara perjalanan dari Jakarta ke Singapura selama 90 menit. Berbekal fakta itu, Mun’im merasa ada yang tidak beres. Akhirnya, berdasarkan sejumlah fakta, diambillah kesimpulan bahwa Munir tidak dibunuh di atas pesawat, melainkan pada saat Pollycarpus mengajaknya minum di Coffee Bean yang ada di Bandar Udara Changi, Singapura.
Menurut Mun’im, hanya di tempat itulah kemungkinan peracunan Munir bisa terjadi. Setelah minum di Coffee Bean, Munir mengeluh sakit perut dan meminta obat maag. Di atas pesawat, Munir sempat muntah dan kejang-kejang sebelum dinyatakan meninggal. Berkat temuan baru tim Mun’im, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung bisa mengajukan peninjauan kembali atas vonis MA yang membebaskan Pollycarpus. Pada 2007, dengan bukti itu, Polly divonis 20 tahun penjara. Tapi Mun’im yang biasa membongkar misteri, kini meninggal. Mungkinkan kematiannya terkait buku “Indonesia X-Files” atau perlakuan orde baru terhadap Bung Karno dan misteri lainnya? Wallahu ‘alam.... [
Killuminati Indonesia]